Interaksi

Sab.
3 min readSep 23, 2023

Membangun hubungan baik antara seorang ayah dan anak bukanlah yang mudah, dimana seorang ayah harus bisa bersikap lembut dan tegas dalam waktu yang sama. Bukan tanpa sebab, semua itu dilakukan agar membentuk sikap yang baik untuk anaknya.

Setiap orang pasti memiliki cara yang berbeda untuk membentuk karakter seorang anak. Tak terkecuali Pramodya — ayah Kale, jika anaknya membuat kesalahan, ia cukup memarahi-nya dengan memberi nasehat dan deep talk tanpa amarah meledak-ledak, lalu bermain permainan kesukaan mereka sambil membicarakan hal-hal random agar rasa canggung tak tercipta.

“Checkmate.” Kale meletakkan kuda, pion dan bom untuk mengalahkan pergerakan ayahnya dalam permainan catur mereka.

“Biarin ayah menang sekali aja kenapa, sih, kak?” Pramodya berucap, ia sudah bosan kalah jika bermain dengan Kale, padahal sebelumnya Kale hanya memiliki satu kuda dengan dua pion.

“Katanya sesepuh?” Canda Kale sambil menyusun kembali miniatur catur di kotaknya masing-masing.

“Iya, tapi saking sepuhnya sampai lupa,” Balas Pramodya berupa candaan pula.

Permainan dimulai kembali, Pramodya dengan catur putihnya dan Kale dengan catur hitam. Pramodya memajukan pion, membuka jalan untuk peran lain, begitu pula yang dilakukan Kale.

“Ayah, tanda-tanda orang suka itu gimana?” Kale menjalankan kudanya secara acak, sepertinya kali ini ia akan memberikan kemenangan untuk ayahnya.

“Kalau dia ngga ada, rasanya ada yang kurang dan kita jadi ngga terlalu bersemangat, kalau ayah dulu gitu.” Pramodya menatap putranya. “Kenapa kakak benaran suka sama cewe?”

“Engga, belum ada satu bulan masa udah suka, kayaknya cuma sekedar kagum.”

“Apa yang kakak kagumi dari dia?” Pramodya meletakkan bisop pada kotak hitam, lalu disusul ster putranya menghilangkan ster Pramodya dari papan catur.

“Her mind, pemikiran dia selalu dewasa, wawasan dia luas.” Kale membenarkan potsur tubuhnya. Kedua iris matanya tak lepas dari papan catur, namun pikirannya terus memikirkan kekagumannya kepada Cala.

“Bukan dari parasnya?”

“Tidak.”

“Wanita pintar punya pesonanya sendiri, kak. Kakak ngga akan berhenti kagum kalau yang kakak kagumi itu pemikirannya, cepat atau lambat kakak bakal jatuh ke pesona dia. Wanita cantik dari pikiran dan hatinya, they are always beautiful to thouse who receive their kindness. Apalagi wanita yang punya brain, beauty, behavior dan brave, mereka udah another level of beauty.”

Kale terdiam mendengar kata-kata ayahnya, baru kali ini Kale jatuh cinta dengan pemikiran seorang wanita, ayahnya benar, wanita pintar memiliki pesona tersendiri, tempat mereka pun berbeda. Sekarang Kale teringat dengan perkataan Javian.

‘Gua akui gua brengsek karena cuma dekatin cewe cantik. Tapi pada akhirnya yang cantik bakal kalah sama yang baik, mau secantik apapun dia, kalau hatinya jelek, kita cuma merasakan capek. Makanya gua ngga berani menjalin hubungan sebelum bertemu sama cewe cantik dan baik, contohnya kayak kak Nakeysha.’

Kira-kita seperti itulah ucapan Javian sebelum menuai kontra dari teman-temannya. Bahkan Kale masih mengingat bagaimana wajah emosi Reynand kala itu. ‘Pertanyaannya, cewe baik dan cantik itu mau atau ngga, sama lo yang suka mainin cewe?’ Ucap Reynand kala itu. Tangapan Kale? Ia hanya diam, walaupun nama kakak sepupu kesayangannya dibawa, sebab Kale tau bagaimana lembutnya perlakuan Javian kepada kakak sepupunya, setidaknya sebelum hubungan ke-duanya kandas.

“Kak?” Mendengar panggilan ayahnya, Kale sadar dari lamunannya, lalu menatap Pramodya dengan raut wajah bingung. “Giliran kakak.”

Kale memajukan pion asal, fokusnya hilang. beberapa saat kemudian pion itu menghilang dari papan catur akibat kuda milik Pramodya, tak tinggal diam Kale langsung mengancam kuda dengan pion yang lain.

“Siapa, sih, kak? kok ayah jadi kepo.”

“Cala, cucunya Tama Seorjadi.” Pramodya terdiam mendengar jawaban putranya, Tama Soerjadi, penulis dari beberapa buku koleksinya. Pramodya tau jika Tama telah tua, tapi ia tidak menyangka bahwa cucu Tama seumuran dengan putranya.

Pramodya tertawa kecil. “Inimah kalau mau nikah, ngga usah minta restu ayah, ayah udah pasti kasih restu.”

“Lanjutin sendiri, udah males.” Kale beranjak dari duduknya, mengambil satu bungkus rokok camel, korek dan ponselnya di atas meja, lalu berjalan keluar dari rumah.

--

--

No responses yet